Elite FRETILIN 1970-an: Antara Pendidikan Jesuit, Turunan Deportados, African Connection, dan Semangat ‘the Sixties’
Jika Fretilin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente atau the Front Revolusioner untuk Kemerdekaan Timor Timur) tak pernah didirikan dan para pendirinya yang relative sangat muda tidak pernah mendeklarasikan kemerdekaan Timor-Leste sebagai sebuah negara baru pada 28 November 1975, sejarah Timor-Leste mungkin akan sangat berbeda.
Ketetapan hati para pemimpin partai untuk memilih opsi kemerdekaan dari tiga opsi yang disodorkan oleh pemerintah kolonial Portugis[1] telah membuat sekutu Amerika Serikat di Asia Tenggara, Indonesia, untuk menginvasi bagian timur Pulau Timor itu dibawah pretext ancaman komunis di Asia. Timor sebagai sebuah negara merdeka dikawatirkan akan menjadi “Kuba di Asia tenggara”. Amerika dan sekutu Perang Dinginnya menjadi pendukung utama invasi Indonesia ke Timor-Leste, termasuk Australia yang mengkhianti orang Timor yang berjuang bersama mereka selama pendudukan Jepang di awal tahun 1940s.[2]
Apa sebenarnya pengaruh ideologis dan kecendrungan di antara para pemimpin Fretilin, yang walaupun relatif sangat muda telah melampaui keterbatasan-keterbatasan mereka dan berdiri teguh dengan keberanian yang sulit dipercaya untuk memprolamasikan kemerdekaan Timor-Leste?
Timor-Leste adalah koloni Portugis yang terkahir meraih kemerdekaannya di abad 20, namun hanya dalam hitungan hari setelahnya kemerdekaan yang dideklarasikan oleh Fretilin pada 28 November 1975 itu dirampas oleh sebuah invasi dari militer Indonesia. Pemerintahan militeristik Indonesia, yang telah mematai-matai dengan seksama proses politik di Timor-Leste sejak sebelum proses dekoloniasi di tahun 1975, khawatir akan ancaman komunis di wilayah ini, dan segera menanggapi proklamasi itu dengan invasi besar-besar yang menewaskan sekurang-kurangnya102,800[3] orang selama 25 tahun pendudukan.
Namun nucleus dari perlawanan aktif telah terlanjur terbentuk dimana sejumlah kontributor Seara telah secara rutin mengadakan pertemuan rahasia di Dili. Banyak dari antara contributor ini kemudian muncul sebagai pemimpin setelah tahun 1974 antara lain: Nicolau Lobato, Jose Ramos Horta, Xavier do Amaral (menulis dengan pseudo name ‘Ramos Paz’), Domingos de Oliveira, Manuel Carrascalao, Fransisco Borja Costa, Inacio de Moura, dan bahan penganut muslim Mari Alkatiri.[4] Hampir semua contributor inilah yang kemudian membentuk beberapa partai politik selama proses dekolonisasi yang diadakan oleh pemerintah colonial di tahun 1975 termasuk Fretilin,UDT (União Democrática Timorense) dan Apodeti (Associação Popular Democrática de Timor).[5]
Para pemimpin partai-partai yang muncul di Timor-Leste selama proses dekolonisasi hampir semuanya Katholik, namun katholisisme pemimpin Fretilin secara kualitas memang berbeda.[6] Presiden Fretilin yang pertamaFrancisco Xavier do Amaral yang kemudian menjadi presiden pertama Timor-Leste, menamatkan pendidikan di seminari Jesuit di Dare, beberapa kilometer di luar Dili dan melanjutkan pendidikan untuk menjadi pastor di Makau. Namun ia meninggalkan gereja karena secara legal dan politis, gereja dianggap sebagai sebuah tangan dari Negara Portugis di koloni ini.[7] Walaupun demikian ia tetap menjadi pemeluk katholik.
Nicolau Lobato, wakil presiden Fretilin yang kemudian menjadi perdana mentri pertama juga tetap menjadi pemeluk katholik namun selalu berbeda pendapat dengan gereja resmi. Saat Fretilin mulai berkembang orang-orang ini semakin marah kepada tuduhan gereja gereja lokal bahwa mereka adalah komunis.
Para pemimpin Fretilin, yang hampir semuanya berusia 20-an, memang sangat dipengaruhi oleh iklim intelektual, budaya dan politik tahun 1960-an. Guru-guru mereka di Seminari Jesuit di Dare juga dipengaruhi oleh atmosfir yang sama, dan tentu saja oleh reformasi Gereja Katholik in Konsili Vatikan II (1962-1965). Selama lebih dari dua dekade sebelum Konsili, pemimpin Gereja Katholik adalah Paus Pius XII (1939-1958) yang ‘sangat otoriter dan antidemokratik’. Ia membisu terhadap genocida dalam Perang Dunia II, ia telah meng-ekskomunikasi semua anggota partai komunis di seluruh dunia namun ‘tidak sedikitpun berpikir untuk meng-ekskomunikasi pemeluk katholik seperti Hitler, Himmler, Goebbels dan Bormann.’ Penggantinya Paus Johanes XXIII, Konsili mengoreksi hampir semua kebijakannya yang menentukan. Paus Johanes XXIII sangat membela keadilan sosial internasional dalam edarannya di tahun 1961, Mater et Magistra. Ia memanggil Gereja untuk terbuka kepada dunia modern dan Ia juga menegaskan hak asasi manusia dalam edarannya di tahun 1963, Pacem in Terris.
Para pemimpin muda Fretilin menyerap semua pelajaran ini, yang pada gilirannya membuat jengkel pra imam yang telah menghabiskan bagian terbaik dari karir mereka di masa Pius XII. Kepala gereja di Timor-Leste adalah Uskup Dom Jose Joaquim Ribeiro, seorang tokoh konservatif yang lebih suka melindungi status istimewa gereja. Gereja di Timor menikmati subsidi Negara, pengecualian pajak, posisi istimewa dalam pendidikan dan hibah tanah yang luas. Para pemimpin Fretilin, banyak yang jebolan baru seminari dan digojlok selama tahun 1960-an, mengkritik keterlibatan gereja dalam kolonialisme Portugis ini, mengeritik kekayaan gereja dan pengusaan lahannya yang luas. Uskup Ribeiro marah dan menggambarkan Fretilin sebagai komunis dan melarang orang katholik untuk memilih mereka. Rekan selevelnya di perbatasan dengan Indonesia, Uskup Theodore van den Tillart di Atambua, juga menggambarkan Fretilin sebagai komunis. Ia menginformasikan Kardinal Australia Cardinal Knox bahwa Fretilin menerima bantuan dari komunisme internasional dan telah melakukan pelanggaran HAM besar. Kardinal Knox kemudian bekerja di Vatikan. Apostolic Pro-Nuncio di Jakarta, Vincenzo Farano, adalah figure gereja lain yang ikut menggambarkan Fretilin sebagai komunis.
Hubungan Timor dengan koloni-koloni Portugis yang lain juga menjadi faktor dalam pembentukan ideologi para pemimpin Fretilin. Meskipun salah satu ciri menonjol dari kolonialisme Portugis adalah membuat Timor terisolasi dari Lisbon dan periferi kolonial yang lain seperti Macau, Mozambique, Angola dan Goa, saling keterhubungan antara sesama periferi kolonial yang mempunyai persamaan nasib penderitaan kolonial sulit dibendung.
African connection terutama hubungan dengan Angola dan Mozambique memainkan pengaruh kuat bagi para pemimpin perlawanan Timor karena banyak dari mereka telah dididik, masuk wajib militer atau dibuang ke Afrika dan kemudian kembali ke Timor dengan pembentukan kesadaran nasional dalam pikiran mereka. Jose Ramos-Horta, pemenang Hadiah Nobel, perdana mentri serta presiden di kemudian hari, dikirim ke pembuangan di Mozambique ketika ia baru berusia 18 tahun. Di sana ia bekerja sebagai seorang wartawan hampir saja mendapat masalah lagi dengan pemerintah kolonial.[10] Ia dipanggil polisi untuk mempertanggungjawabkan sebuah review yang ia tulis tentang sebuah film Australia ‘Ned Kelly’ yang diperankan Mick Jagger, dimana ia menggambarkan Kelly sebagai seorang demokrat yang melawan penindasan kolonial. Aktifis Timor lainnya yang kemudian menjadi perdana mentri Mari Alkatiri juga menjalani pendidikannya di Angola, dimana ia secara rasia bertemu dengan seorang perwakilan MPLA.[11]
Arah politik dari gerakan orang Timor sebelum proses dekolonisasi condong ke ide-ide para nasionalis Afrika dari koloni-koloni Portugis seperti Agustinho Neto, Amilcar Cabral, Samora Machel, Eduardo Mondlane. Perubahan nama partai dari ASDT (Associacao Democratica Inregracao Timor Leste) ke Fretilin di bulan September 1975 jelas menunjukkan bahwa para pemimpin partai terkesan dan dipengaruhi oleh gerakan nasionalis Afrika, dimana nama baru ini mirip dengan FRELIMO.
Para pemimpin baru ini lebih sungguh mengekspresikan inti dari nasionalisme Timor dalam campuran ide-ide revolusioner nasionalisme Afrika, pragmatisme dan keswadayaan konservatif.[13] Sesaat sebelum invasi besar-besaran Indonesian pada 7 Desember 1975, José Ramos-Horta, Mari Alkatiri dan Rogério Lobato dikirim ke luar negeri untuk melakukan lobby internasional, menandai dimulainya perjuangan panjang militer dan diplomatik orang Timor. Alkatiri mendirikan markas Delegasi External Fretilin di Maputo, Mozambique dan bekerja di sana sebagai pengacara. Ramos Horta kemudian selama bertahun-tahun menjadi ‘diplomat tak resmi’ di PBB melakukan lobby-lobby tanpa lelah untuk kemerdekaan Timor-Leste.
Adalah para pemuda-pemudi Timor radikal yang teralienasi dari kebudayaan mereka sendiri ini yang sangat ingin mencari tahu asal-usul budaya mereka. Mereka membentuk kelompok pendukung di seberang lautan yang sangat bernilai bagi Fretilin. Tujuh orang pelajar kembali dari Portugal pada bulan September 1974 yaitu Abilio Araujo, Guilhermina Araujo, Antonio Carvarino, Vicente Manuel Reis, Roque Rodrigues, Rosa Muki Bonaparte dan Venancio Gomes da Silva adalah anggota dari kelompok-kelompok mahasiswa pro-Fretilin yang terbentuk di Portugal antara lain MLTD (Movimento Libertacao Timor Dili) dan FULINTID (Frente Unica de Libertacao de Timor Dili). Beberapa di antaranya seperti Roque Rodrigues, Estanislau da Silva, António Carvarino, Vicente dos Reis, Abílio de Araújo and Rosa ‘Muki’ Bonaparte kemudian menjadi figur yang menonjol dalam gerakan kemerdekaan.[16] Beberapa di antaranya bahkan mati memperjuangkan kemerdekaan.
Usia dan gaya pakaian adalah bukti yang paling menusuk dari semangat the Sixties di antara para revolusioner Timor, sebagaimana terlihat dalam foto-foto dari tahun-tahun sekitar munculnya gerakan ini. Usia rata-rata para mentri dalam kabinet Republik Demokratik Timor-Leste[26] kurang dari 30, kebanyakan antara 26 dan 30. Hanya perdana mentri Nicolau Lobato yang berusia 29, sementara Presiden Xavier do Amaral dan wakil mentri urusan Administrasi Dalam Negeri dan Keamanan Fernando Carmo adalah dua yang tertua dengan usia 37.[27] Dalam sebuah kesaksian Ramos Horta ia menyebutkan bahwa alasan mereka memilih Xavier do Amaral sebagai ketua partai adalah agar mereka tidak dianggap enteng karena hampir semua pengurus parati adalah orang muda. Ramos dan Alkariti saat bersepeda ke rumah do Amaral untuk memintanya menjadi ketua partai saling melempar tanggungjawab siapa yang akan menyampaikan ide itu kepada Amaral.
***
Wartawan Australia Jill Jolliffe, yang berada di Timor-Leste dari 11 September sampai 2 Desember 1975 secara sempurna menjelaskan bahwa curriculum vitae dari banyak pemimpin kemerdekaan Timor luar biasa mirip: berasal dari keluarga liurai (pemimpin tradisional), pendidikan dasar di sekolah Jesuit di Soibada, pendidikan menengah di seminari di Dare, pegawai negeri dalam pemerintahan colonial atau anak-anak dari deportados Portugis.[28]
[1]Jill Jolliffe, East Timor: Nationalism & Colonialism, Queensland: University of Queensland Press, 1978; untuk laporan lengkap tentang proses dekolonisasi Portugis terhadap Timor Leste di tahun lihat Chega!, terutama Part 3: History of the Conflict, p. 11-15, 23-32, tersedia pada: http://www.cavr-timorleste.org/chegaFiles/finalReportEng/03-History-of-the-Conflict.pdf [accessed on Feb. 24, 2013.]
[2]Untuk informasi lebih lengkap mengenai pengkhianatan pihak-pihak internasional terhadap Timor-Leste lihat James Dunn, Timor: A People Betrayed, Jacaranda Press, 1983.
[3]Chega! The Report of the Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliacao de Timor Leste (CAVR), Part 6: The Profile of Human Rights Violations in Timor-Leste, 1974 to 1999, p. 3-4. Tersedia pada http://www.cavr-timorleste.org/chegaFiles/finalReportEng/06-Profile-of-Violations.pdf [access pada 24 Februari 2013].
[4]Jolliffe, East Timor: 56.
[5]Untuk informasi tentang semua parati politik yang muncul sebelum dan setelah pembicaraan pertama untuk melaksanakan proses dekolonisasi yang diadakan oleh pemerintah colonial Portugis di bulan Mei 1975, lihat James S. Olson (ed), Historical Dictionary of European Imperialism, New York: Greenwood Press, 1991; Jolliffe, East Timor: 61-91.
[6]Jolliffe, East Timor: 70.
[7]Jolliffe, East Timor: 70.
[8]Jollifee, East Timor: 115.
[9]Untuk peran gereja Katholik dalam konflik di Timor-Leste dari tahun 1975 sampai 1998 lihat Chega!, Chapter 7.1: Self Determination p. 67-76, available on http://www.cavr-timorleste.org/chegaFiles/finalReportEng/07.1-Self-Determination.pdf [access pada February 24, 2013]; lihat juga Peter Carey, “The Catholic Church, Religious Revival and the Nationalist Movement in East Timor 1975-1998” dalam Indonesia and the Malay World, 27/78, 1999.
[10]Jolliffe: 56; Jose Ramos Horta, Funu, The Unfinished Saga of East Timor, The Red Sea Press. Inc: New Jersey, 1987, 14.
[11]Jolliffe, East Timor: 57.
[12]Jolliffe, East Timor: 111.
[13]Jolliffe, East Timor: 153.
[14]Untuk Revolusi Bunga di Portugal lihat Horta, Funu: 25-28;
[15]Jolliffe, East Timor: 72-3.
[16] Yang masih hidup sampai sekarang adalah Roque Rodrigues yang kemudian menjadi Mentri Pertahanan dan Keamanan dalam kabinet Alkatiri setelah Timor-Leste meraih kembali kemerdekaannya di tahun 2002; di tahun yang sama Estanislau da Silva ditunjuk sebagai Mentri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Dia menjadi pejabat Perdana Mentri dari Mei-Agustus 2007 menggantikan Ramos Horta yang terpilih menjadi Presiden. António Carvarino (Mau Lear) diangkat menjadi mentri Pengadilan Sosial dalam Kabinet pertama di tahun 1975, Vicente dos Reis (Sahe) diangkat menjadi Tenaga Kerja, Abílio de Araújo diangkat menjadi Mentri Perekoniman dan Sosial dan Rosa ‘Muki’ Bonaparte
[17]Abilio de Araujo, Timorese Elites, Canberra: Canberra Techincal College, 1975. Diterjemahkan dari judul asli As elites em Timor by J.M. Alebrto.
[18]Horta, Funu: 7.
[19]Ibid: 8.
[20]Ibid: 98.
[21]Jolliffe, East Timor: 62.
[22]Martin, Kimkle, “Entry: 1960” dalam The Plagrave Dictionary of Transnational History, Akira Iriye and Pierre-Yves Saunier (eds), (London: Macmillan Pub. Ltd, 2009): 2-3.
[23]Jolliffe, East Timor: 157.
[24]Michael Richardson, ‘FRETILIN Ready for Long War of Resistance’, the Age, 9 Dec. 1975.
[25] John Edwards, “Timor: A New Vietnam?”, the National Times, 29 Sept. — 4 Oct. 1975.
[26] Susunan kabinet itu terdiri dari Menteri Dalam Negeri (Mari Alkatiri); Menteri Perekonomian dan Sosial (Abilio Conceicao Araujo Abrantas); Menteri Koordinator Perekonomian dan Statistik (Jose Goncalves); Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Aires de Almeida Parera); Menteri keuangan (Juvenal Sanacio); Menteri Urusan Pertahanan dan Keamanan Dalam Negeri (Alarico Jorge Guteres Fernandes); Menteri Pengadilan Sosial (Antonio Duarte Carvarino); Menteri Tenaga Kerja merangkap Menteri Negara (Vicente Reis); Menteri Pertahanan Nasional (Hermininggildo Alves), dan Menteri Perhubungan dan Transport (Nikolau de Jorge). Menteri-menteri itu ada yang didampingi oleh seorang wakil. Wakil Menteri Urusan Pertahanan dan Keamanan Dalam Negeri dipegang oleh Fernando de Almeida do Carmo. Wakil Menteri Tenaga Kerja merangkap Menteri Negara (Guido Valdares); Wakil Menteri Pertahanan Nasional (Helio Sanches Pina); dan Wakil Menteri Luar Negeri merangkap urusan-urusan informan (Domingos dos Santos Araujo).
[27]Jolliffe, East Timor: 130, 219.
[28]Jolliffe, East Timor: 69.
[29]T.N. Harper, “Empire, Diaspora and the Language of Globalism”, 1850-1914, in A.G. Hopkins (ed), Globalization in World History, London: Pimlico, 2002: 141.
[30]Jolliffe, East Timor: 328.
[31]T.N. Harper, “Empire”: 147.
[2]Untuk informasi lebih lengkap mengenai pengkhianatan pihak-pihak internasional terhadap Timor-Leste lihat James Dunn, Timor: A People Betrayed, Jacaranda Press, 1983.
[3]Chega! The Report of the Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliacao de Timor Leste (CAVR), Part 6: The Profile of Human Rights Violations in Timor-Leste, 1974 to 1999, p. 3-4. Tersedia pada http://www.cavr-timorleste.org/chegaFiles/finalReportEng/06-Profile-of-Violations.pdf [access pada 24 Februari 2013].
[4]Jolliffe, East Timor: 56.
[5]Untuk informasi tentang semua parati politik yang muncul sebelum dan setelah pembicaraan pertama untuk melaksanakan proses dekolonisasi yang diadakan oleh pemerintah colonial Portugis di bulan Mei 1975, lihat James S. Olson (ed), Historical Dictionary of European Imperialism, New York: Greenwood Press, 1991; Jolliffe, East Timor: 61-91.
[6]Jolliffe, East Timor: 70.
[7]Jolliffe, East Timor: 70.
[8]Jollifee, East Timor: 115.
[9]Untuk peran gereja Katholik dalam konflik di Timor-Leste dari tahun 1975 sampai 1998 lihat Chega!, Chapter 7.1: Self Determination p. 67-76, available on http://www.cavr-timorleste.org/chegaFiles/finalReportEng/07.1-Self-Determination.pdf [access pada February 24, 2013]; lihat juga Peter Carey, “The Catholic Church, Religious Revival and the Nationalist Movement in East Timor 1975-1998” dalam Indonesia and the Malay World, 27/78, 1999.
[10]Jolliffe: 56; Jose Ramos Horta, Funu, The Unfinished Saga of East Timor, The Red Sea Press. Inc: New Jersey, 1987, 14.
[11]Jolliffe, East Timor: 57.
[12]Jolliffe, East Timor: 111.
[13]Jolliffe, East Timor: 153.
[14]Untuk Revolusi Bunga di Portugal lihat Horta, Funu: 25-28;
[15]Jolliffe, East Timor: 72-3.
[16] Yang masih hidup sampai sekarang adalah Roque Rodrigues yang kemudian menjadi Mentri Pertahanan dan Keamanan dalam kabinet Alkatiri setelah Timor-Leste meraih kembali kemerdekaannya di tahun 2002; di tahun yang sama Estanislau da Silva ditunjuk sebagai Mentri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Dia menjadi pejabat Perdana Mentri dari Mei-Agustus 2007 menggantikan Ramos Horta yang terpilih menjadi Presiden. António Carvarino (Mau Lear) diangkat menjadi mentri Pengadilan Sosial dalam Kabinet pertama di tahun 1975, Vicente dos Reis (Sahe) diangkat menjadi Tenaga Kerja, Abílio de Araújo diangkat menjadi Mentri Perekoniman dan Sosial dan Rosa ‘Muki’ Bonaparte
[17]Abilio de Araujo, Timorese Elites, Canberra: Canberra Techincal College, 1975. Diterjemahkan dari judul asli As elites em Timor by J.M. Alebrto.
[18]Horta, Funu: 7.
[19]Ibid: 8.
[20]Ibid: 98.
[21]Jolliffe, East Timor: 62.
[22]Martin, Kimkle, “Entry: 1960” dalam The Plagrave Dictionary of Transnational History, Akira Iriye and Pierre-Yves Saunier (eds), (London: Macmillan Pub. Ltd, 2009): 2-3.
[23]Jolliffe, East Timor: 157.
[24]Michael Richardson, ‘FRETILIN Ready for Long War of Resistance’, the Age, 9 Dec. 1975.
[25] John Edwards, “Timor: A New Vietnam?”, the National Times, 29 Sept. — 4 Oct. 1975.
[26] Susunan kabinet itu terdiri dari Menteri Dalam Negeri (Mari Alkatiri); Menteri Perekonomian dan Sosial (Abilio Conceicao Araujo Abrantas); Menteri Koordinator Perekonomian dan Statistik (Jose Goncalves); Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Aires de Almeida Parera); Menteri keuangan (Juvenal Sanacio); Menteri Urusan Pertahanan dan Keamanan Dalam Negeri (Alarico Jorge Guteres Fernandes); Menteri Pengadilan Sosial (Antonio Duarte Carvarino); Menteri Tenaga Kerja merangkap Menteri Negara (Vicente Reis); Menteri Pertahanan Nasional (Hermininggildo Alves), dan Menteri Perhubungan dan Transport (Nikolau de Jorge). Menteri-menteri itu ada yang didampingi oleh seorang wakil. Wakil Menteri Urusan Pertahanan dan Keamanan Dalam Negeri dipegang oleh Fernando de Almeida do Carmo. Wakil Menteri Tenaga Kerja merangkap Menteri Negara (Guido Valdares); Wakil Menteri Pertahanan Nasional (Helio Sanches Pina); dan Wakil Menteri Luar Negeri merangkap urusan-urusan informan (Domingos dos Santos Araujo).
[27]Jolliffe, East Timor: 130, 219.
[28]Jolliffe, East Timor: 69.
[29]T.N. Harper, “Empire, Diaspora and the Language of Globalism”, 1850-1914, in A.G. Hopkins (ed), Globalization in World History, London: Pimlico, 2002: 141.
[30]Jolliffe, East Timor: 328.
[31]T.N. Harper, “Empire”: 147.
Bibliografi
De Araujo, Abilio. 1975. Timorese Elites. Canberra: Canberra Technical College.
Edwards, John. “Timor: A New Vietnam?’, the National Times, 29 Sept. — 4 Oct. 1975
Harper, T.N. 2002. “Empire, Diaspora, and the Languages of Globalism, 1850-1914” in A.G. Hopkins (ed), Globalization in World History, London: Pimlico: 141-166.
Iriye, Akira, and Saunier, Pierre-Yves. 2009. The Plagrave Dictionary of Transnational History. London: Macmillan Pub. Ltd.
Jolliffe, Jill. 1978. East Timor: Nationbalism & Colonialism. Queensland: University of Queensland Press.
Ramos-Horta, Jose. 1987. Funu: The Unfinished Saga of East Timor. New Jersey: The Red Sea Press, Inc.
Richardson, Michael. ‘FRETILIN Ready for Long War of Resistance’, the Age, 9 Dec. 1975.
Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliacao de Timor Leste (CAVR), 2005. Chega! The Report of the Commission for Reception, Truth, and Reconciliation Timor-Leste. Diakses padahttp://www.cavr-timorleste.org/en/chegaReport.htm [diakses pada 18 Mei 2014]
Edwards, John. “Timor: A New Vietnam?’, the National Times, 29 Sept. — 4 Oct. 1975
Harper, T.N. 2002. “Empire, Diaspora, and the Languages of Globalism, 1850-1914” in A.G. Hopkins (ed), Globalization in World History, London: Pimlico: 141-166.
Iriye, Akira, and Saunier, Pierre-Yves. 2009. The Plagrave Dictionary of Transnational History. London: Macmillan Pub. Ltd.
Jolliffe, Jill. 1978. East Timor: Nationbalism & Colonialism. Queensland: University of Queensland Press.
Ramos-Horta, Jose. 1987. Funu: The Unfinished Saga of East Timor. New Jersey: The Red Sea Press, Inc.
Richardson, Michael. ‘FRETILIN Ready for Long War of Resistance’, the Age, 9 Dec. 1975.
Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliacao de Timor Leste (CAVR), 2005. Chega! The Report of the Commission for Reception, Truth, and Reconciliation Timor-Leste. Diakses padahttp://www.cavr-timorleste.org/en/chegaReport.htm [diakses pada 18 Mei 2014]