Apakah yang harus diperhatikan dalam Meditasi Kristiani?
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam meditasi Kristiani menurut dokumen CDF yang berjudul Orationis Formas -Tentang beberapa aspek dalam meditasi Kristiani (silakan klik):
1. Meditasi Kristiani = salah satu bentuk doa yang adalah komunikasi antara manusia dengan Tuhan
Dewasa ini dikenal banyak cara meditasi, terutama yang mengetengahkan cara-cara meditasi Timur yang non- Kristiani. Lalu timbul pertanyaan, dapatkah cara-cara tersebut memperkaya meditasi Kristiani. Untuk menjawabnya, perlu dipahami pengertian doa, yang selalu berhubungan dengan iman Kristiani yang memancarkan kebenaran akan Tuhan dan mahluk ciptaan-Nya. Doa melibatkan sikap pertobaan, yaitu, meninggalkan diri dengan cara hidup yang lama untuk menuju Tuhan dalam hidup yang baru. Dengan pengertian ini maka segala teknik yang tidak melibatkan hubungan pribadi dengan Tuhan, namun yang berkonsentrasi kepada diri sendiri tidaklah sesuai dengan ajaran iman Kristiani (lih. OF 3).
2. Kitab Suci mengajarkan bagaimana cara berdoa
Kitab Suci memberikan banyak contoh doa, sebagaimana yang tercatat dalam kitab Mazmur dan kitab-kitab lainnya baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Gereja mengacu kepada kitab-kitab tersebut dalam doa-doanya, sebagaimana ada dalam liturgi dan ibadat hariannya. Secara khusus dalam kitab Perjanjian Baru, Allah mewahyukan diri-Nya dengan lebih jelas di dalam Kristus melalui Inkarnasi sebagaimana tercatat dalam Injil.
Itulah sebabnya mengapa Gereja menganjurkan pembacaan Sabda Allah sebagai sumber doa Kristiani, dan selalu sepanjang zaman mendorong semua orang untuk menemukan makna Kitab Suci secara lebih mendalam melalui doa (lih. OF 6).
3. Doa harus dilakukan dalam kesatuan dalam kehidupan Allah Trinitas
Dengan pengertian doa sebagai komunikasi antara manusia dengan Allah, dan penggabungannya ke dalam kehidupan Allah, maka doa ditentukan oleh apa yang terjadi di dalam kehidupan ilahi Allah itu sendiri. Kehidupan ilahi ini dinyatakan dengan gerakan kasih Allah, yaitu bahwa Kristus, Sang Putera Allah telah datang ke dunia oleh kuasa Roh Kudus, untuk menyelamatkan dunia; dan oleh kuasa Roh Kudus yang sama, Ia kembali kepada Bapa setelah melakukan kehendak Bapa melalui wafat dan kebangkitan-Nya (lih. OF 7).
Itulah sebabnya doa yang sempurna yang diajarkan dalam Injil adalah doa Bapa Kami, yang menyatakan persatuan antara kita dengan Kristus dan sesama, sebab di dalam Kristus kita dapat menyapa Allah sebagai Bapa, dan di dalam Dia kita dapat menyapa Allah Bapa sebagai “Bapa Kami” bersama-sama dengan sesama yang mengimani Kristus. Dengan penghayatan akan kebersamaan kita sebagai anggota-anggota Kristus dalam kesatuan dengan Kristus, maka semua doa yang kita haturkan, walaupun didoakan secara pribadi dan rahasia, merupakan “doa-doa bagi kebaikan Gereja, di dalam Roh Kudus, bersama-sama dengan semua orang kudus-Nya” (OF 7). Dengan demikian, doa tidak dapat dipisahkan dengan Kristus dan Gereja-Nya.
4. Waspadalah terhadap dua penyimpangan doa: Pseudognosticism dan Messalianism
Namun demikian, walaupun Kitab Suci telah banyak mengajarkan tentang doa, sejak abad-abad awal telah muncul adanya bentuk-bentuk doa yang keliru. Dua penyimpangan fundamental dalam hal doa adalah (lih. OF 8-9):
1) Pseudognosticism yang menekankan pada ‘pengetahuan tingkat tinggi/ gnosis‘. Pandangan ini menganggap tubuh/ apapun yang berkenaan dengan materia sebagai sesuatu yang najis/ jahat, sehingga doa dianggap harus melepaskan manusia dari segala sesuatu yang berkenaan dengan materia. Untuk memerangi hal ini para Bapa Gereja meneguhkan bahwa materia diciptakan oleh Tuhan dan karena itu tidak jahat. Rahmat Allah menyempurnakan materia (Grace perfects nature) dan menguduskannya. Maka pengetahuan yang tertinggi bukan dari upaya melepaskan diri dari materia, tetapi dari menghasilkan buah-buah doa, yaitu kasih Kristiani.
2) Messalianism yang menekankan kepada ‘pengalaman’.
Sebagaimana kesempurnaan kasih tak dapat diukur dari pengetahuan/ gnosis sebagai dasar, kasih juga tak dapat diukur dari pengalaman psikologis. Para Bapa Gereja mengajarkan bahwa persatuan jiwa dengan Tuhan dalam doa terjadi secara rahasia dan secara khusus dalam sakramen-sakramen Gereja, bahkan secara khusus dalam pengalaman desolasi, saat seseorang mengambil bagian di dalam keadaan sengsara Kristus, yang menjadi teladan dalam doa.
Sebagaimana kesempurnaan kasih tak dapat diukur dari pengetahuan/ gnosis sebagai dasar, kasih juga tak dapat diukur dari pengalaman psikologis. Para Bapa Gereja mengajarkan bahwa persatuan jiwa dengan Tuhan dalam doa terjadi secara rahasia dan secara khusus dalam sakramen-sakramen Gereja, bahkan secara khusus dalam pengalaman desolasi, saat seseorang mengambil bagian di dalam keadaan sengsara Kristus, yang menjadi teladan dalam doa.
5. Waspada terhadap tahapan “meninggalkan diri/ mengosongkan diri”
Dengan pengaruh metoda meditasi Timur yang masuk ke dalam dunia Kristen dan komunitas gerejawi maka kita dihadapkan dengan keadaan pembaharuan yang perlu diwaspadai, agar tidak menyimpang. Sebab beberapa orang menggunakan metoda-metoda tersebut dan berusaha mencapai pengalaman rohani seperti yang dialami oleh para mistik Katolik. Bahkan ada yang tanpa ragu menempatkan Sang Ilahi tanpa gambaran, yang disetarakan dengan Allah yang diwahyukan oleh Kristus. Menurut paham ini, persatuan dengan Sang Ilahi diperoleh melalui meninggalkan diri/ pengosongan diri yang total, dan peleburan diri ke dalam Sang Ilahi.
Jika ini dilakukan maka tanpa disadari, masuklah prinsip meditasi non-Kristiani yang tidak sesuai dengan prinsip meditasi Kristiani. Hal inilah yang harus diwaspadai oleh umat Katolik yang melakukan doa meditasi, sebagaimana dikatakan dalam dokumen CDF tersebut. Berikut ini kutipannya:
“Metoda-metoda meditasi …., termasuk yang memiliki titik tolak pada perkataan dan perbuatan Yesus, mencoba sedapat mungkin untuk mengalihkan segala sesuatu yang bersifat duniawi, yang dapat dirasakan ataupun dipikirkan…. Maka hal tersebut merupakan upaya untuk melampaui atau menenggelamkan diri sendiri ke dalam lingkup ilahi, yang dengan demikian, tidak berhubungan dengan dunia, tidak dapat dirasa oleh indera ataupun dapat dikonsepkan di dalam pikiran.” (OF, 11)
Maka keadaan yang perlu diwaspadai adalah kecenderungan untuk ‘menghadirkan’ keilahian dan usaha-usaha untuk mendekatinya. Untuk mencapai hal ini, beberapa metoda meditasi Timur digunakan sebagai persiapan, yang sifatnya mendatangkan ketenangan secara fisik dan psikologis. Persiapan ini nampak tidak berbahaya, namun yang perlu dihindari adalah prinsip yang menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan materia/ dunia, termasuk meditasi tentang karya keselamatan Allah yang digenapi di dalam penjelmaan Kristus menjadi manusia, dan akan keberadaan Allah Tritunggal, demi menenggelamkan diri ke dalam ‘lautan ilahi yang tak terbatas’ yang tidak dikenal. Maka proposal yang memadukan meditasi Kristiani dan teknik meditasi Timur harus selalu diperiksa/ dievaluasi agar jangan sampai terjadi sinkretisme yaitu pencampuran nilai-nilai religius yang menghasilkan suatu paham yang bertentangan dengan iman Kristiani (lih. OF, 12)
Melalui pernyataan ini, jelaslah bahwa apapun bentuk meditasi Kristiani yang menggunakan teknik meditasi Timur, dengan pengulangan mantra (baik diucapkan atau tidak diucapkan) dalam metoda pernafasan, ‘mengosongkan diri/ pikiran’ dst, tetap harus dievaluasi agar tidak meninggalkan prinsip doa menurut ajaran iman Kristiani.
Maka tahap ‘meninggalkan/ mengosongkan diri’ harus diartikan menurut iman Kristiani. Hal ini memang dapat diartikan sebagai pengosongan dari pikiran-pikiran yang mengganggu, agar kekosongan itu dapat diisi dengan perhatian kasih kepada Allah. Namun kekosongan ini sebenarnya tidak untuk diartikan kekosongan terhadap apapun sehubungan dengan tubuh/ materia, sampai kita tidak dapat merasakan apa-apa lagi. ‘Mengosongkan diri’ yang dimaksud di sini adalah meninggalkan segala kecondongan terhadap dosa dan keegoisan diri, seperti diajarkan oleh Rasul Paulus dan St. Ignatius dari Loyola (lih. OF 18).
Selanjutnya, St. Agustinus mengajarkan agar jika kita ingin menemukan Tuhan kita harus meninggalkan dunia luar dan masuk kembali ke dalam diri sendiri, tetapi tidak berhenti sampai di situ. Sebab jika berhenti sampai di jiwa kita saja, maka kita tak akan menemukan Tuhan di sana. Tuhan dapat ditemukan melalui mahluk ciptaan-Nya sebab melalui mereka, kita mengetahui kesempurnaan Tuhan yang tak kelihatan (Rom 1:20). Tuhan memang ada di dalam diri kita, namun demikian, di dalam misteri-Nya, Ia mengatasi kita, dan lebih dalam dari kedalaman hati kita. (lih. OF 19)
6. Tak mungkin ada “peleburan manusia ke dalam Sang Ilahi”
Perlu diingat bahwa “manusia pada dasarnya adalah mahluk ciptaan dan akan tetap demikian sampai kekekalan, sehingga sebuah “peleburan manusia ke dalam Sang Ilahi” tidak pernah mungkin terjadi, tidak juga di dalam tingkatan rahmat yang tertinggi” (OF 14).
7. Ekaristi= Persatuan manusia dengan Tuhan
Misteri persatuan antara Tuhan dan manusia adalah misteri yang tak terpahami, di mana manusia disatukan dengan Allah tanpa manusia menjadi Allah, ataupun dilebur/ ditiadakan di dalam Allah (lih. OF 15). Menurut ajaran iman Kristiani, persatuan antara Allah dan manusia dimungkinkan karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan menerima hidup ilahi melalui Pembaptisan, dan sakramen-sakramen lainnya, dan puncaknya adalah sakramen Ekaristi, di mana Kristus memberikan diri-Nya untuk kita, dan membuat kita mengambil bagian di dalam hidup ilahi-Nya, tanpa meniadakan kodrat kita sebagai manusia, yaitu kodrat yang dikenakan-Nya juga saat Ia menjelma menjadi manusia (lih. OF 14).
8. Persatuan antara Allah dan manusia diperoleh karena rahmat Tuhan, dan bukan semata atas usaha/ teknik yang dilakukan oleh manusia.
Maka persatuan antara Allah dan manusia menurut iman Kristiani tidak ada hubungannya dengan teknik meditasi, melainkan selalu adalah karunia pemberian Allah. Orang-orang yang menerima karunia ini adalah mereka yang menyadari bahwa diri mereka sendiri tidak layak menerimanya (lih. OF 23,31). Persatuan mistik ini tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang, yang dimulai dengan pertobatan/ pemurnian diri, yaitu meninggalkan kecondongan terhadap dosa dan cinta diri, yang terus diterangi oleh kehidupan di dalam Kristus, yang dimulai dari Pembaptisan dan sakramen-sakramen lainnya dan oleh kehidupan doa oleh tuntunan Roh Kudus.
Maka proses ‘pengosongan diri’ menurut ajaran iman Kristiani adalah proses membuang dosa-dosa dari hati kita, agar kita dapat menyediakan ruang untuk Tuhan. Semakin sempurna seseorang menyediakan ruang hatinya untuk Tuhan, semakin siaplah ia menerima karunia persatuan dengan Tuhan. Nah, menurut ajaran iman Kristiani, tidaklah mungkin seseorang menerima kasih Tuhan, jika ia mengabaikan kasih yang diberikan oleh Tuhan melalui Kristus, yang telah wafat dan bangkit untuk memberikan hidup ilahi-Nya kepada kita (lih. OF 20).
Selain itu, karena merupakan karunia, maka persatuan mistik dengan Allah ini dapat diberikan oleh Allah menurut kebijaksanaan-Nya, dan kita tidak dapat memaksakannya. Karunia tersebut, yang secara khusus diberikan kepada para santa/santo ataupun para pendiri institut gerejawi untuk kebaikan Gereja, tidak untuk dikejar-kejar sedemikian, [seolah-olah karunia ini juga harus diberikan kepada setiap orang] bahkan oleh anggota-anggota dalam institut/ kongregasi yang sama (lih. OF 24). Karunia tersebut tidak sama dengan sapta karunia Roh Kudus yang disebutkan dalam Yes 11:1-3, dan juga tidak sama dengan karunia karismatik Roh Kudus yang disebutkan dalam Rom 12:3-21. Dalam hal ini kesatuan dengan pimpinan Gereja adalah penting, sebab merekalah yang bertugas untuk mengarahkannya, tidak untuk memadamkan Roh, tetapi untuk memeriksa segala sesuatu dan untuk berpegang kepada apa yang baik (lih. Lumen Gentium, 12).
9. Waspadalah terhadap simbolisme psiko-fisik
Meditasi Timur mementingkan simbolisme psiko-fisik yaitu pernafasan ataupun detak jantung. Latihan “Doa Yesus” yang mengadaptasi ritme pernafasan, mungkin memang dapat menimbulkan ketenangan yang sungguh membantu bagi banyak orang. Namun simbolisme ini tidak dapat dijadikan sebagai segala-galanya, sebab jika demikian dapat menjadi penghalang bagi jiwa kita untuk naik kepada Tuhan. Juga, kesadaran akan tubuh sebagai simbol tidak dapat disamakan dengan doa, sebab hal ini dapat mengakibatkan kultus tubuh yang mengartikan apapun perasaan yang dialami tubuh [rasa tenang/ relax, hangat, terang] sebagai pengalaman spiritual (lih. OF 27,28), dan tentu seharusnya tidaklah demikian. Menganggap perasaan-perasaan tersebut sebagai karunia Roh Kudus, adalah pemahaman yang keliru tentang kehidupan rohani.
Namun demikian, bukan berarti bahwa semua praktek meditasi yang diambil dari cara meditasi Timur tersebut sama sekali tidak berguna. Cara-cara tersebut dapat membantu, namun harus diingat bahwa persatuan dengan Tuhan mensyaratkan hati yang senantiasa berjaga agar tak jatuh dalam dosa, dan hati yang selalu memohon bantuan ilahi, yang disebut sebagai “berdoa yang tak kunjung henti” bahkan di tengah-tengah karya pelayanan terhadap sesama. Maka kehidupan doa Kristiani yang otentik adalah kehidupan doa yang dibarengi dengan perbuatan kasih dalam kerjasama dengan misi Gereja untuk melayani sesama demi kemuliaan nama Tuhan (lih. 1Kor 10:31, OF 28).
10. Buah kontemplasi Kristiani = kerendahan hati yang membuahkan kasih.
Telah disampaikan di atas, bahwa kasih Allah yang menjadi satu-satunya obyek kontemplasi Kristiani adalah suatu realitas yang tak dapat dikuasai oleh metoda atau teknik apapun (lih. OF 31).
Semakin dekat seseorang kepada Tuhan, semakin besar penghormatannya di hadapan Allah Tritunggal. St. Agustinus mengatakan, “Engkau (Tuhan) memanggilku sahabat, [namun] aku menyadari diriku sebagai seorang pelayan.” Atau kita mengenal perkataan yang diucapkan oleh Bunda Maria, sebagai seseorang yang dikaruniai tingkat keintiman yang tertinggi dengan Tuhan, “Sebab Ia [Tuhan] telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya” (Luk 1:48, OF 31).
Kesimpulan
Meditasi Kristiani adalah salah satu bentuk doa yang harus dilakukan dalam kesatuan dengan Kristus dan Gereja-Nya. Sebab hanya dalam kesatuan dengan Kristus, seseorang dapat mencapai tahap kontemplasi akan Allah sebagaimana dikehendaki oleh-Nya. Seseorang yang mengalami kontemplasi akan Allah, semakin melihat kasih Allah yang dinyatakan dalam kerendahan hati-Nya, dengan penjelmaan Kristus Sang Putera Allah menjadi manusia, dan wafat dengan cara yang sedemikian rendah, untuk mengangkat derajat manusia yang dikasihi-Nya. Pengalaman ini akan membuka mata hati orang itu, untuk melihat dengan jujur, betapa kecil kasih yang dimilikinya jika dibandingkan dengan kasih Allah, betapa kecil dirinya jika dibandingkan dengan Allah yang tiada terbatas.
Maka kerendahan hati menjadi buah yang menandai keotentikan kontemplasi Kristiani, yang membedakannya dengan meditasi sekular. Meditasi yang dilakukan tanpa melibatkan pemahaman akan Allah Trinitas, atau yang menekankan adanya energi ilahi (Sang Ilahi tanpa pribadi) di dalam diri manusia, yang akan meleburkan manusia menjadi satu dan sama dengan Sang Ilahi tersebut, akan beresiko menghasilkan buah yang sebaliknya, atas pengertian bahwa manusia dapat mencapai keilahian, melalui usahanya sendiri dengan melakukan suatu teknik tertentu. Hal ini sungguh berbeda dengan ajaran Kristiani yang melihat persatuan antara manusia dengan Allah sebagai suatu karunia yang diberikan oleh Allah secara cuma-cuma, seturut kebijaksanaan-Nya.
Semoga melalui pengajaran dari CDF ini, kita dapat mengenali cara-cara meditasi yang baik, yang menghantarkan kita untuk lebih dekat dengan Tuhan yang mewahyukan diri-Nya di dalam Kristus yang menjelma menjadi manusia, dan bukannya menggantikan wahyu Allah itu dengan gambaran yang asing tentang Allah, yang berbeda dengan ajaran Kristiani.
Sumber http//www.katolisitas.org/apakah-yang-harus-diperhatikan-dalam-meditasi-kristiani/